Manajemen Konflik Penggunaan Rumpon Di Kabupaten Sinjai

1573

Kontributor : Hamidah, S.Pi (Penyuluh Perikanan Pertama/Satminkal BRPBAP3/Kabupaten Sinjai)

Sinjai, April 2018.  Pemanfaatan sumber daya perikanan tidak lepas dari dinamika interaksi antar pengguna sumber daya. Kecenderungan adanya interaksi yang dinamis antar pengguna dikarenakan sifat sumber daya perikanan itu sendiri sebagai sumber daya bersama dan kadang sebagai “open access”. Untuk menghindari terjadinya over eksplotasi karena sifatnya yang open access, maka pemerintah mengatur tata kelolanya dalam peraturan perundang undangan.  Munculnya konflik diantara pengguna sebenarnya adalah bagian dari proses manajemen sumber daya itu sendiri. Hal ini dapat dimaknai bahwa konflik yang terjadi akan mendorong pemerintah sebagai regulator untuk mencari formula terbaik pengelolaan sumber daya tersebut. Dengan demikian akan terus terjadi penyempurnaan-penyempurnaan menuju titik kesetimbangan.

Manajemen konflik diperlukan para “manajer” untuk menata konflik agar sumber daya yang terbatas dapat dinikmati oleh para pengguna secara luas dan berkelanjutan serta mengantisipasi terjadinya “chaos” antar pengguna. Dalam kaitannya dengan pendampingan nelayan perikanan tangkap sebagai pengguna sumber daya perikanan, maka penyuluh perikanan mempunyai peran penting sebagai pendamping/fasilitator sekaligus sebagai manajer pengelolaan sumber daya tersebut.

Salah satu contoh empiris manajemen konflik yang baik dalam pemanfaatan sumber daya perikanan dapat dipetik dari sharing pengalaman Ibu Hamidah, S.Pi, seorang penyuluh perikanan Satminkal BRPBAP3 yang bertugas di Kabupaten Sinjai. Permasalahan antar kelompok nelayan terjadi di Dusun Jahung-Jahung, Desa Sanjai, Sinjai Timur Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan, sekitar akhir Februari 2018. Permasalahan muncul ketika salah satu kelompok nelayan memasang rumpon di perairan yang disinyalir tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 71 tahun 2016 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan; dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 26 tahun 2014 tentang rumpon. Pada rumpon tersebut dipasang perangkap sehingga kelompok nelayan lainnya merasa dirugikan karena perangkap yang dipasang tersebut dapat merusak jaring mereka.

Hamidah menceritakan lebih lanjut bahwa ketidaksesuaian penggunaan rumpon dan perangkap tersebut dilaporkan oleh pihak yang merasa dirugikan beserta bukti-bukti lapangan. Tentunya, permasalahan ini dapat menimbulkan tensi perpecahan antar kelompok nelayan jika tidak diambil langkah mediasi yang cepat dan tepat. Hamidah, sebagai penyuluh perikanan setempat mencoba melakukan pengumpulan data dan meramu permasalahan untuk mengambil tindakan mediasi. Pendekatan secara kekeluargaan dilakukannya dengan menghubungi para nelayan yang berseteru. “Komunikasi efektif secara kekeluargaan perlu dilakukan di awal kejadian oleh pihak diluar kelompok, dalam hal ini penyuluh sebagai pendamping mereka” ungkap Hamidah. “Kami juga membangun komunikasi dengan pihak kepolisian setempat, pihak desa, dan pihak lainnya sebagai bentuk antisipasi dan koordinasi dengan pihak yang kompeten” lanjutnya.

Hamidah melanjutkan bahwa pertemuan untuk mendamaikan kedua belah pihak pun dapat terwujud secara kekeluargaan. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Bapak Kapolsek beserta tim dan pihak terkait lainnya. Pada pertemuan tersebut, kelompok nelayan yang menempatkan rumpon dengan perangkap membuat perjanjian lisan untuk tidak akan memasang perangkap lagi pada rumponnya dan akan mengangkat sisa dari perangkap yang belum terangkat. Lebih lanjut disebutkan bahwa apabila di kemudian hari, masih ditemukan perangkap terpasang pada rumpon tersebut, maka akan diproses secara hukum.

Namun, seiring berjalannya waktu, kelompok nelayan non rumpon melakukan pengechekan lapangan untuk memastikan bahwa rumpon telah diambil dari perairan. Merekan pun berinisiatif untuk mendatangkan penyelam dari luar untuk membantu melakukan check lapangan.  Ternyata dari pengamatan dan investigasi lapangan, didapatkan titik- titik rumpon di laut dan setelah diselami, maka betul masih terdapat cukup banyak rumpon. Semua rumpon dan perangkatnya dinaikkan ke perahu sebagai barang bukti untuk pihak berwajib. “seru juga melakukan investigasi lapangan, karena saya juga ikut di kapal” cerita Hamidah. “namun sedih juga, karena ada pihak yang sudah dipertemukan, ternyata tidak dapat berkomitmen” kisahnya.

Akhirnya pengumpulan bukti berupa rumpon dan perangkapnya di bawa ke darat sekaligus sebagai barang bukti untuk pihak kepolisian. Penanganan selanjutnya diproses oleh pihak kepolisian, dimana untuk masing-masing pihak menandatangani surat perjanjian didepan para saksi. “Konflik antar nelayan sangat berpotensi terjadi di lapangan, karena itu kordinasi dan kerja sama dengan pihak terkait utamanya pihak kepolisian sangat membantu dalam penyelesaian masalah ini” tutur Hamidah. “Selain itu, data lapangan penyebab terjadinya permasalahan dapat menjadi bukti empiris untuk investigas lebih lanjut” ujar nya.