Indonesia memiliki potensi alam yang sesuai untuk pengembangan budidaya kepiting bakau khususnya di kawasan mangrove dan daerah pertambakan. Hal ini juga didukung dengan keberadaan keempat jenis spesies dari genus Scylla yang dapat ditemui di perairan Indonesia yaitu S.serrata, S.tranquebarica, S.olivacea dan S.paramamosain. Selama ini, tingkat eksploitasi kepiting bakau di alam berlangsung secara intensif sehingga pemerintah mengeluarkan aturan yang tegas untuk menjaga kelestarian kepiting bakau melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, No.1/PERMEN-KP/2015.
Sebagai salah satu komoditas ekspor potensial dengan tingkat eksploitasi yang tinggi di alam maka produksi kepiting bakau perlu diupayakan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya pembesaran kepiting bakau di tambak terdiri atas dua kegiatan yaitu kegiatan pembesaran dan penggemukan. Kegiatan pembesaran biasanya dimulai pada ukuran krablet (0.5-1 gr) atau ukuran yang lebih besar (10-50 gr) sampai mencapai ukuran panen sedangkan kegiatan penggemukan adalah pemeliharaan kepiting yang sudah berukuran >100 gr sampai mencapai ukuran panen. Kegiatan pembesaran yang ada saat ini mengandalkan bibit dari alam dengan menebar kepiting ukuran sekitar 50-100 gr kemudian dipelihara selama 2-4 bulan sebelum dipanen. Keuntungan metode ini yaitu waktu panen bisa lebih cepat namun ketersediaan benih masih tergantung dari alam. Meskipun produksi benih kepiting bakau sudah dapat diproduksi melalui panti pembenihan namun produksinya masih sangat terbatas dan tidak kontinyu serta masih dalam tahap pengembangan oleh lembaga penelitian ataupun universitas.
Peneliti:
Muhammad Nur Syafaat dan Gunarto